www.unsera.ac.id
-Moh. Kholil (31214161)
-Manajemen/Ekonomi/Universitas Serang Raya
A.
Pengertian
Perjanjian.
1. Menurut Kitab Undang
Undang Hukum Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain
atau lebih”. Ketentua pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada
beberapa kelemahan.
Kelemahan- kelemahan
itu adalah seperti diuraikan di bawah ini:
1.
Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini
diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih lainnya”.
2.
Kata perbuatan mencakup juga tanpa
consensus
3.
Pengertian perjanjian terlalu luas
4.
Tanpa menyebut tujuan
5.
Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
6.
Ada syarat- syarat tertentu sebagai isi
perjanjian, seperti disebutkan di bawah ini:
·
syarat ada persetuuan kehendak
·
syarat kecakapan pihak- pihak
·
ada hal tertentu
·
ada kausa yang halal
2. Menurut Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hukum
yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada,
tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang
ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas
beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak
secara timbal balik.
3. Menurut adat
Perjanjian menurut adat disini
adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk
mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa
dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
B.
Prestasi
dan Wanprestasi
1. Prestasi
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa
“tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan:
“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban
si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya
sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.
Dari pasal tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian “memberi sesuatu” mencakup
pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu
penyerahannya.
Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana
disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua
pengertian, yaitu:
1.
Penyerahan kekuasaan belaka atas barang
yang menjadi obyek perjanjian.
2.
Penyerahan hak milik atas barang yang
menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang lainnya adalah
“berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah melakukan
suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat
sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah
ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya
maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan
persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau
menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Salah satu unsur dari suatu perikatan
adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni suatu prestasi yang
terdiri dari 3 (tiga) macam:
1.
Memberikan sesuatu, misalnya membayar
harga, menyerahkan barang.
2.
Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki
barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan untuk pemesan.
3.
Tidak berbuat sesuatu, misalnya
perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan, perjanjian tidak akan
menggunakan merk dagang tertentu.
Prestasi
dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:
1.
Suatu prestasi harus merupakan suatu
prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan jenisnya, tanpa adaya
ketentuan sulit untuk menentukan apakah debetur telah memenuhi prestasi atau
belum.
2.
Prestasi harus dihubungkan dengan suatu
kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan.
3.
Prestasi harus diperbolehkan oleh
Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4.
Prestasi harus mungkin dilaksanakan.
2. Wanprestasi
Wanprestasi adalah keadaan dimana seorang telah lalai
untuk memenuhi kewajiban yang diharuskan oleh Undang-Undang. Jadi wanprestasi
merupakan akibat dari pada tidak dipenuhinya perikatan hukum.
Pada umumnya debitur dikatakan
wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan
prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan
untuk dilakukan. Menurut R.Subekti, melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana
mestinya juga dinamakan wanprestasi. Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan
debitur dapat dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan
wujud atau bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi ini sangat menentukan
sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi.
Dalam hal wujud prestasinya
“memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian
telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya.
Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian,
maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan
lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya
tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu
memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi,
maka ia telah dinyatakan wanprestasi.
Surat peringatan kepada debitur
tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti
bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan yang wujud prestasinya “tidak
berbuat sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan
seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu
perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi.
Wanprestasi
berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji,
melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.
Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat-syarat di atas dalam
keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur
dapat berupa 4 (empat) macam:
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukan;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat;
4.
Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ada pendapat lain mengenai syarat-syarat
terjadinya wanprestasi, yaitu:
1.
Debitur sama sekali tidak berprestasi,
dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau teguran karena
hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu berprestasi;
2.
Debitur berprestasi tidak sebagaimana
mestinya, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk melakukan prestasi,
tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya;
3.
Debitur terlambat berprestasi, dalam hal
ini debitur masih mampu memenuhi prestasi namun terlambat dalam memenuhi
prestasi tersebut.
Akibat hukum dari
debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai
berikut:
1.
Membayar kerugian yang diderita oleh
kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
2.
Pembatalan perjanjian atau juga
dinamakan pemecahan perjanjian;
3.
Peralihan risiko. Benda yang dijanjikan
obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab
dari debitur;
4.
Membayar biaya perkara, kalau sampai
diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus
menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam
menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut:
1.
Dapat menuntut pemenuhan perjanjian,
walaupun pelaksanaannya terlambat;
2.
Dapat menuntut penggantian kerugian,
berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi tersebut dapat berupa biaya, rugi
atau bunga;
3.
Dapat menuntut pemenuhan dan penggantian
kerugian;
4.
Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan
perjanjian; dan
5.
Dapat menuntut pembatalan dan
penggantian kerugian.
2.3
Asas-Asas dalam Kontrak Bisnis
Dalam bisnis kontrak sangat
dipergunakan orang, bahkan hampir semua kegiatan bisnis selalu diawali oleh
adanya kontrak, kalaupun dibuat secara sederhana. Karena fungsinya yang sangat
penting, maka pembuatan kontrak haruslah memperhatikan asas-asas yang berlaku
dalam suatu kontrak. Sebagaimana kita ketahui dalam ilmu hukum dikenal beberapa
asas hukum terhadap suatu kontrak, antara lain :
1. Asas Kontrak sebagai
Hukum Mengatur
Hukum mengatur (aanvullen recht)
adalah peraturan-peraturan hukum hukum yang berlaku bagi subjek hukum, misalnya
para pihak dalam suatu kontrak. Akan tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak
mutlak berlakunya, karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang
berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan yang
bersifat umum mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum
kontrak termasuk kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak
menyeluruh) dari hukum kontrak tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan
mengaturnya sendiri. Oleh karena itu, hukum kontrak ini disebut hukukm yang
mempunyai sistem terbuka (open system). Sebagai lawan dari hukum mengatur
adalah hukum yang memaksa (dwingend recht, mandatory). Dalam hal ini yang
dimaksud dengan hukum memaksa adalah aturan hukum yang berlaku secara memaksa
atau mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para pihak yang terlibat
dalam suatu perbuatan hukum, termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.
2. Asas Kebebasan
Berkontrak (freedom of contract)
Asas ini merupakan konsekuensi dari
berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur. Dalam hal ini yang dimaksudkan
dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa dalam
suatu kontrak para pihak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat
kontrak, demikian juga kebebasanya untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.
Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut :
a. harus memenuhi syarat sebagai
suatu kontrak
b. tidak dilarang oleh
undang-undang
c. tidak bertentangan dengan
kebiasaan yang berlaku
d. harus dilaksanakan dengan itikad
baik
3. Asas Pacta Sunt
Servanda
Istilah ”pacta sunt servanda”
mempunyai arti bahwa janji itu mengikat, yang dimaksud dengan asas kebebasan
berkontrak ini ialah bahwa kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak
tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah lain dari asas ini
adalah ”my word is my bonds”, yang artinya dalam bahasa Indonesia bahwa jika
sapi dipegang talinya, jika manusia dipegang mulutnya, mengikat secara penuh
atas kontrak-kontrak yang dibuat oleh para tersebut oleh hukum kekuatanya
dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu undang-undang. Oleh
karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak yang telah dibuatnya oleh hukum
disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksaan kontrak secara paksa.
4. Asas Konsensual
Yang dimaksud dengan asas
konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika suatu kontrak telah dibuat,
maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan pada prinsipnya
persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum, kecuali untuk beberapa
jenis kontrak tertentu, yang memang dipersyaratkan syarat tertulis.
5. Asas Obligatoir
Asas obligatori adalah suatu asas
yang menetukan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka para pihak telah
terikat, tetapi keterikatan itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban
semata-mata, sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan
(zakelijke overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli
misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru
terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik tersebut baru dapat berpindah
setelah adanya kontrak kebendaan atau sering disebut serah terima (levering).
Hukum kontrak di Indonesia memberlakukan asas obligatoir ini karena berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak
mengakui asas obligatoir karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil,
artinya suatu kontrak haruslah dibuat secara riil, dalah hal ini harus dibuat
secara terang dan tunai. Kontrak harus dilakukan di depan pejabat tertentu,
misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus juga dilakukan
levering-nya. Jika hanya sekedar janji saja, seperti dalam sistem obligatoir,
dalam hukum adat kontrak semacam ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
2.4 Perjanjian Kredit
Menurut pasal 1 ayat (11) UU No.10
tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan, kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Unsur-unsur perjanjian
kredit:
1.
Kepercayaan, keyakinan pemberi kredit
bahwa kredit tersebut akan terbayar kembali
2.
Waktu, pemberian kredit dan pembayaran
kembali memiliki jangka waktu tertentu
3.
Resiko, bahwa setiap pemberian kredit
selalu memiliki resiko, semakin lama jangka waktu yang diberikan, semakin
tinggi resiko kredit tersebut
4.
Prestasi, prestasi dalam perjanjian
kredit adalah pemberian obyek kredit (bisa berupa uang ataupun barang dan jasa,
tapi yang paling sering dijumpai adalah uang)
Jenis-jenis Kredit:
Dari segi tujuan penggunaannya,
kredit dibagi menjadi:
1.
Kredit produktif, yaitu kredit yang
diberikan kepada bentuk usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa. Kredit
Produktif dapat berupa KMK (kredit modal kerja) yaitu kredit diberikan untuk
membiayai kebutuhan usaha, atau KI (kredit investasi) yaitu kredit diberikan
untuk membiayai pengadaan barang modal/jasa.
2.
Kredit komsumtif, yaitu kredit diberikan
untuk membiayai kebutuhan konsumtif masyarakan pada umumnya
Dari segi jangka waktunya,
kredit dibagi menjadi:
1.
Kredit jangka pendek, tidak melebihi 1
tahun
2.
Kredit jangka menengah, lebih dari 1
tahun tapi tidak lebih dari 3 tahun
3.
Kredit jangka panjang, lebih dari 3
tahun
Setiap kredit yang telah disepakati antara
pemberi dan penerima kredit, harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit.
Akar dari perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam. Syarat sah
perjanjian kredit adalah sama dengan syarat sah perjanjian pada umumnya, yaitu
yang tercantum pada pasal 1320 BW: kesepakatan, cakap hukum, suatu hal tertentu
dan suatu sebab yang halal. Fungsi dari dibuatnya perjanjian kredit adalah
sebagai:
1.
Perjanjian pokok, yang biasanya diikuti
dengan perjanjian penjaminan
2.
Sebagai alat bukti, mengenai hak dan
kewajiban para pihak
3.
Sebagai alat pemantauan kredit
Bentuk
perjanjian kredit dapat berupa akta bawah tangan ataupun akta otentik.
Pasal 1874 KUHPer: Akta
dibawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak
melalui perantaraan pejabat yang berwenang untuk dijadikan alat bukti
Pasal 1868 KUHPer: Akta
otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh UU yang dibuat
oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat
dimana akta dibuatnya. Yang dimaksud dengan pegawai umum antara lain notaries,
PPAT, pegawai KUA, dll
Pihak-pihak dalam
perjanjian kredit:
1.
Kreditur, kreditur (pemberi kredit)
dalam perjanjian kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan selain bank,
sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam, pemberi pinjaman bisa saja individu
biasa.
2.
Debitur, debitur (penerima kredit)
adalah pihak yang dapat bertindak sebagai subyek hukum, baik individu (person)
atau badan hukum (recht person).
Pengakhiran perjanjian
kredit:
Perjanjian kredit dapat
berakhir oleh hal-hal sebagai berikut:
1.
Pembayaran/pelunasan, tindakan sukarela
dari debitor untuk memenuhi perjanjian.
2.
Subrogasi, penggantian hak-hak kreditur
oleh pihak ketiga (pasal 1400 KUHper).
3.
Pembaruan Utang (novasi), ada tiga
bentuk novasi yaitu:
·
Mengganti kreditur
·
Mengganti debitur
·
Merubah obyek/isi perjanjian
1.
Perjumpaan utang (kompensasi), kedua
pihak memperjumpakan atau memperhitungkan utang-piutang di antara keduanya
sehingga perjanjian kredit menjadi hapus (1425 KUHPer)
2.5 Resiko
dan Keadaan Memaksa
2.5.1 Resiko
Resiko ialah
kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar
kesalahan salah satu pihak. Barang yang diperjual belikan musnah diperjalanan
karena ada suatu kecelakaan misalnya perahu yang mengangkut barang itu karam.
Barang yang dipersewakan habis terbakar selama waktu dipersewakannya. Siapakah
yang harus memikul kerugian-kerugian itu. Inilah yang disebut risiko.
Dari
apa yang sudah diuraikan tentang pengertian risiko di atas, kita lihat
peristiwa risiko berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar
kesalahan satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain berpokok
pangkal pada kejadian yang dalam hukum perjanjian dinamakan : keadaan memaksa.
Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagai mana ganti
rugi adalah buntut dari wanprestasi.
Bagaimana soal risiko itu diatur dalam
hukum perjanjian? Dalam buku ke III kitab undang-undang hukum perdata,
sebenarnya kita hanya dapat menemukan satu pasal, yaitu pasal 1237. Pasal ini berbunyi
sebagai berikut : “ Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang
tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan si
berpiutang”. Perkataan tanggungan dalam pasal ini sama dengan “risiko”. Dengan
begitu, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu tadi, jika
barang ini sebelum diserahkan, musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan
salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang”, yaitu pihak
yang menerima barang itu. Suatu perikatan
untuk memberikan suatu barang tertentu, adalah suatu perikatan yang timbul
karena perjanjian sepihak. Dengan kata lain, pembuat undang-undang tidak
memikirkan perjanjian timbal-balik, dimana pihak yang berkewajiban melakukan
suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontraprestasi Dia hanya memikirkan
pada suatu perikatan secara abstrak, dimana ada satu pihak yang wajib melakukan
suatu prestasi dan suatu pihak lain yang berhak atas prestasi tersebut. Pasal
1237 hanya dapat dipakai pada perjanjian sepihak saja.
2.5.2 Keadaan Memaksa
(Overmacht).
Overmacht artinya keadaan memaksa.
Dalam suatu perikatan jika Debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga
tidak dapat memenuhi prestasinya, Debitur tidak dapat dipersalahkan / di luar
kesalahan Debitur. Dengan perkataan lain Debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya karena overmacht bukan karena kesalahannya akan tetapi karena
keadaan memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung gugatkan kepadanya.
Dengan demikian Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaimana hak yang
dimiliki oleh Kreditur dalam wanprestasi.
Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan:
“Jika
ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan
bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada
waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal
yang tak terduka, pun tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, karenanya itu
pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
Pasal 1245 KUH
Perdata:
“Tidaklah
biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau
lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal yang sama telah melakukan perbuatan
yang terlarang”.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, dapat
disimpulkan bahwa keadaan memaksa adalah keadaan dimana Debitur terhalang dalam
memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan
tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti
rugi dan bunga.
Akibat keadaan memaksa:
1.
Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan
prestasi.
2.
Debitur tidak dapat lagi dinyatakan
lalai.
3.
Resiko tidak beralih kepada debitur.
Unsur-unsur Keadaan
memaksa:
1.
Peristiwa yang memusnahkan benda yang
menjadi obyek perikatan;
2.
Peristiwa yang menghalangi Debitur
berprestasi;
3.
Peristiwa yang tidak dapat diketahui
oleh Kreditur/Debitur sewaktu dibuatnya perjanjian.
Sifat Keadaan memaksa:
Keadaan memaksa dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.
Keadaan memaksa absolut:
Adalah suatu keadaan di mana
debitor sama sekali tidak dapat memenuhi prestasinya kepada kreditor, oleh
karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contoh:si A ingin
membayar utangnya pada si B, namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan
pembayaran utang, terjadi gempa bumi, sehingga A sama sekali tidak dapat
membayar utangnya pada B.
2.
Keadaan memaksa yang relatif:
Adalah suatu keadaan yang
menyebabkan debitor masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi
pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar,
yang tidak seimbang, atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan
manusia, atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh:
seorang penyanyi telah mengikatkan dirinya untuk menyanyi di suatu konser,
tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya
meninggal dunia.
2.6 Fidusia
Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik
benda. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia mengatur
tentang sifat-sifat dari jaminan fidusia yang akan dijelaskan di bawah ini.
1.
Jaminan fidusia adalah hak-hak jaminan
atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda
tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai acuan bagi
pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Ketentuan jaminan fidusia ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, dan
berikut sifat-sifat dari jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan
undang-undang:
2.
Jaminan fidusia bersifat accesoir, yang
berarti bahwa jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri melainkan
kelahiran dan keberadaannya atau hapusnya tergantung dari perjanjian pokok
fidusia itu sendiri;
3.
Jaminan fidusia bersifat droit de suite,
yang berarti bahwa penerima jaminan fidusia/kreditur mempunyai hak mengikuti
benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu
berada, dengan artian bahwa dalam keadaan debitur lalai maka kreditur sebagai
pemegang jaminan fidusia tidak kehilangan haknya untuk mengeksekusi objek
fidusia walaupun objek tersebut telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain;
4.
Jaminan fidusia memberikan hak
preferent, yang berarti bahwa kreditor sebagai penerima fidusia memiliki hak
yang didahulukan untuk mendapatkan pelunasan utang dari hasil eksekusi benda
jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur cedera janji atau lalai membayar
utang;
5.
Jaminan fidusia untuk menjamin utang
yang telah ada atau akan ada, yang berarti bahwa utang yang dijamin
pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 7
Undang-Undang Fidusia, yakni:
·
Utang yang telah ada, adalah besarnya
utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit;
·
Utang yang akan timbul di kemudian hari
yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu;
·
Utang yang pada saat eksekusi, dapat
ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban
memenuhi suatu prestasi.
6.
Jaminan fidusia dapat menjamin lebih
dari satu utang, yang berarti bahwa benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh
debitur kepada beberapa kreditur yang secara bersama-sama memberikan kredit
kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit, hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 Undang-undang fidusia;
7.
Jaminan fidusia mempunyai kekuatan
eksekutorial, yang berarti bahwa kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak
untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Dan eksekusi
tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri atau tanpa putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap;
8.
Jaminan fidusia bersifat spesialitas dan
publisitas, dengan maksud spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci
mengenai objek jaminan fidusia dalam Akta Jaminan Fidusia, sedangkan publisitas
adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang dilakukan di kantor
pendaftaran fidusia;
9.
Jaminan fidusia berisikan hak untuk
melunasi utang. Sifat ini sesuai dengan fungsi setiap jaminan yang memberikan
hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil
penjualan jaminan bila debitur cidera janji dan bukan untuk dimiliki oleh
kreditur. Dan ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan kreditur;
10.
Jaminan fidusia meliputi hasil benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dan klaim asuransi. Dan objek jaminan
fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud (seperti kendaraan bermotor, mesin
pabrik, perhiasan, perkakas rumah, pabrik, dan lain-lain); benda bergerak tidak
berwujud (seperti sertipikat, saham, obligasi, dan lain-lain); benda tidak
bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan (yakni, hak satuan
rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara dan bangunan rumah yang
dibangun di atas tanah milik orang lain); serta benda-benda yang diperoleh
dikemudian hari.
2.7 HAK TANGGUNGAN
Hak Tanggungan pada hakikatnya
merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Penggunaan hak tanggungan, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga
dipergunakan untuk pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Kemudian siapa yang bisa dikatakan
sebagai pemengang hak tanggungan atau subjek hak tanggungan ialah Pemberi Hak
Tanggungan dan Pemegang Hak Tanggungan. Yang dimaksud sebagai Pemberi hak tanggungan
ialah orang atau badan hukum yang mempuyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Sedangkan yang pemegang
Hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang.
Klasifikasi Objek dari Hak
Tanggungan dapat dilihat dari berbagai sudut tergantung pada perkembangan lebih
lanjut dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak tanggungan.
Jika ditinjau dari yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT) maka yang bisa
menjadi objek hak tanggungan hanyalah Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha
(Pasal 33 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA).Kemudian apabila ditinjau
dari Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2), dapat ditambahkan satu lagi
macam hak tanggungan ialah Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan
yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Sedangkan pada tahapan akhir perkembangan hak tanggungan sebagaimana Yang
ditunjuk oleh UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT)
menyatakan bahwa adapula tambahan objek hak tanggungan ialah Rumah Susun yang
berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan
oleh Negara serta Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang bangunannya
didirikan di atas tanah Hak Milik,Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang
diberikan oleh Negara.
Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri yang
dapat dibedakan dengan berbagai hak lainnya ialah:
·
Membuat kedudukan seorang kreditor
menjadi diutamakan dibandingkan kreditornya (“droit de preference”);
·
Mengikuti obyek yang dijaminkan di
tangan siapapun obyek itu berada (“droit de suite”);
·
Dapat mengikat pihak ketiga dan
memberikan kepastian hukum pada pihak-pihak yang berkepentingan ketika memenuhi
asas spesialitas dan asas publisitas;
·
menyederhanakan pelaksanaannya eksekusi.
Hak Tanggungan memiliki
sifat yang tidak dapat dipungkiri yakni:
1.
Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar),
berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian
daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian
obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh
obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
2.
Hak Tanggungan hanya merupakan ikutan
(“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan
hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan
sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.