Saturday, October 29, 2016

Makalah Perlindungan Konsumen

www.unsera.ac.id

Moh. Kholil (31214161)
A1/Manajemen/Ekonomi/Universitas Serang Raya
A.      PENDAHULUAN
Dalam kegiatan bisnis sehari-hari terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku usaha dengan konsumen (pemakai barang atau jasa). Kepentingan pelaku usaha adalah untuk  memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen, sedangkan
kepentingan konsumen adalah untuk memproleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu.
Dalam hubungan demikian seringkali terdapat ketidaksetaraan antara pelaku usaha dengan konsumen. Konsumen biasanya berada pada posisi tawar yang lemah sehingga memungkinkannya untuk dijadikan objek eksploitasi untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha yang secara sosial dan ekonomi memiliki posisi yang kuat melalui promosi dan klausula baku[1] yang seringkali merugikan konsumen. Akibatnya hak-hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha tidak dapat terealisasikan dengan baik.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen sering kali disebabkan karena tingkat pengetahuan hukum dan kesadaran konsumen akan haknya yang masih rendah, kondisi seperti ini oleh pelaku usaha dimanfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan tidak mengidahkan kewajiban-kewajiban yang sudah seharusnya melekat pada para pelaku usaha. Untuk itu perlu diimbangi dengan adanya upaya perlindungan konsumen terhadap resiko kemungkinan kerugian akibat penggunaan produk (barang atau jasa) melalui upaya pencegahan dari ketidakpastian atas mutu, jumlah dan keamanan.
Dan akhirnya, pada tanggal 20 April 1999 pemerintah berhasil mensahkan peraturan perundang-undangan mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK). Undang-undang tersebut merupakan landasan dasar bagi konsumen Indonesia untuk melindungi dirinya dari tindakan pelaku usaha yang dapat merugikan.
Meskipun ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen, UU PK tidak bertujuan untuk mematikan pelaku usaha. Sebab dengan adanya UU PK, pelaku usaha diharapkan lebih termotivasi untuk meningkatkan daya saingnya dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Dalam pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan diundangkannya Undang-undang tersebut adalah untuk:
1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3.      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5.      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6.      Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Sedangkan asas yang dianut dalam UU PK sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 adalah:
1.      Asas manfaat.
Dimaksudkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua belah pihak atau kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2.      Asas keadilan.
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.      Asas keseimbangan.
Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material ataupun.
4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
Penerapan asas ini diharapkan akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.      Asas kepastian hukum.
Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.


B.       PENGERTIAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA
B.1. Konsumen
Dalam kamus bahasa, istilah konsumen merupakan alih bahasa dari consumer (Inggris-Amerika) yang secara harfiah berarti “seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa”, atau “Seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”. Ada pula yang memberikan arti lain, yaitu konsumen yang berarti “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.
Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan[2].
Sekalipun semua orang mengerti bahwa sangat sulit untuk membuat suatu batasan tentang pengertian konsumen tanpa memuat berbagai kekurangan didalamnya, R. Setiawan[3] mencoba memberikan batasan pengertian konsumen sebagai “setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang/jasa untuk suatu kegunaan tertentu”.
Dengan demikian yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam batasan diatas adalah orang alamiah maupun orang yang diciptakan oleh hukum (badan hukum). Unsur “mendapatkan” juga digunakan dalam batasan ini, karena perolehan barang atau jasa oleh konsumen tidak saja berdasarkan suatu hubungan hukum (perjanjian jual beli, sewa menyewa, pinjam-pakai dan sejenisnya), tetapi juga mungkin terjadi karena pemberian sumbangan, hadiah-hadiah atau yang lain, baik yang berkaitan dengan suatu hubungan komersial maupun dalam hubungan lainnya (non-komersial). “Mendapatkan secara sah” adalah mendapatkan suatu barang atau jasa dengan cara-cara yang tidak bertentangan dan atau /melawan hukum. Selanjutnya unsur “kegunaan tertentu” memberikan tolok ukur pembeda antara berbagai konsumen yang dikenal (konsumen antara dan konsumen akhir). Tergantung untuk kegunaan apakah suatu barang atau jasa itu diperlukan. Apabila kegunaan tertentu itu adalah untuk tujuan memproduksi barang atau jasa lain dan atau untuk dijual kembali (tujuan komersial), maka kita akan berhadapan dengan konsumen antara. Apabila kegunaan tertentu itu adalah untuk tujuan memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya serta tidak untuk dijual kembali (tujuan non-komersial), maka konsumen tersebut adalah konsumen akhir.
David L. London dan Alberts Dellabitta, menyatakan bahwa konsumen akhir mempunyai arti sebagai individu-individu yang melakukan pembelian untuk memenuhi kebutuhan pribadinya atau konsumsi rumah tangganya.[4]
B. 2. Pelaku usaha (produsen)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi produsen adalah mereka yang menghasilkan suatu bahan atau barang, atau mengelola suatu jasa untuk digunakan oleh pihak lain (konsumen).
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam penjelasan pasal ini dijelaskan bahwa pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian pelaku usaha menurut UU PK sangat luas, bukan hanya produsen melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara).
Ketentuan dalam Undang-undang di atas dapat kita jabarkan ke dalam beberapa syarat, yakni:
1.    Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:
ü  Orang perorangan, yakni setiap individu yang secara seorang diri melakukan kegiatan usaha.
ü  Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha. Badan usaha dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yakni:
§  Badan hukum. Badan usaha yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori badan hukum adalah yayasan, perseroan terbatas dan koperasi.
§  Bukan badan hukum. Jenis badan usaha selain ketiga bentuk badan usaha diatas dapat dikategorikan sebagai badan usahan bukan badan hukum, atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha secara insidentil. Misalnya, pada saat mobil kita mogok karena terjebak banjir, ada tiga orang pemuda yang menawarkan untuk mendorong mobil kita dengan syarat mereka diberi imbalan Rp. 50.000,-. Tiga orang ini dapat dikategorikan sebagai badan usaha dan bukan badan hukum.
2.      Memenuhi salah satu kriteria di bawah ini :
§  Didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
§  Melakukan kegiatan di wilayah hukun Negara Republik Indonesia.
§  Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian.

C.      HAK DAN KEWAJIBAN
C.1. Hak dan Kewajiban Konsumen
Sebelum membahas mengenai hak konsumen, ada baiknya kita memahami dulu apa pengertian hak. Dalam istilah bahasa Indonesia hak mempunyai beberapa arti, diantaranya: milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan dalam bahasa hukum hak adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena hal tersebut telah ditentukan oleh Undang-undang atau peraturan lainnya.[5] Dari sini dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu kekuasaan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.
Adapun hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 UU PK, yakni:
a.       Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;
b.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.       Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
e.       Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.       Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.      Hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UUPK lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas:[6]
a.       Hak memperoleh keamanan;
b.      Hak memilih;
c.       Hak mendapat informasi;
d.      Hak untuk didengar.
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:[7]
  1. Hak untuk memperoleh  kebutuhan hidup;
  2. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
  3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
  4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Dari rumusan-rumusan hak konsumen tersebut, secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu[8]:
a.       Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
b.      Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;
c.       Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.
Sedangkan kewajiban yang diatur dalam pasal 5 UU PK adalah:
a.       Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan Barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.       Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

C.2. Hak dan Kewajiban Produsen
Dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa hak pelaku usaha adalah:
a.       Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.       hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.      Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan;
e.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak yang diberikan oleh Undang-undang kepada pelaku usaha merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai pelaku usaha. Dan implementasi dari kewajiban-kewajiban pelaku usaha inilah yang merupakan wujud dari tanggung jawab pelaku usaha. Dengan kata lain pelaku usaha yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya adalah pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Karenanya layak untuk mendapatkan sanksi.[9]
Dalam pasal 7 UU PK menyebutkan tetang  kewajiban pelaku usaha, yaitu:
a.       Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.       Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.       Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.       Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.      Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

D.      TAHAPAN TRANSAKSI KONSUMEN
1.      Tahap Pratransaksi
Pada tahap ini konsumen masih mencari keterangan di mana barang atau jasa kebutuhannya dapat ia peroleh, berapa harganya dan syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Pada tahap ini informasi tentang barang atau jasa memegang peranan penting. Informasi yang benar dan bertanggungjawab (informative information) merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum ia dapat mengambil keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi. 
Putusan pilihan konsumen yang benar sangat tergantung pada kebenaran dan bertanggung-jawabnya informasi yang disediakan kalangan usaha yang bersangkutan. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa konsumen membeli karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan, konsumen memiliki hak untuk membatalkan transaksi yang telah dilakuakan (Pasal 1321 KUH Perdata).
1.      Tahap Transaksi yang Sesungguhnya
Pada fase ini, transaksi konsumen dan produsen sudah terjadi. Sehingga  pada tahap ini para pihak menyepakati apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing. Kesepakatan ini kemudian dapat dituangkan ke dalam suatu perjanjian tertulist dan tidak tertulis. Namun apabila nanti terjadi sengketa, maka kesepakatan yang dibuat secara tertulis akan lebih mudah dibuktikan dibanding kesepakatan yang tidak dibuat secara tidak tertulis.
2.      Tahap Purnatransaksi
Tahap ini merupakan realisasi dari tahap transaksi. Pada tahap ini para pihak harus melaksanakan semua kewajiban yang telah disepakati sebelumnya. Menurut bahasa hukum, kewajiban yang harus dipenuhi adalah prestasi, dan pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dianggap melakukan wanprestasi. Dengan adanya wanprestasi, pihak yang telah memenuhi kewajibannya memiliki hak untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi agar melakukan prestasinya.
Seringkali para pihak memiliki pemahaman yang berbeda mengenai isi perjanjian. Adanya perbedaan pemahaman akan menimbulkan perbedaan penafsiran, yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik. Penyebab konflik biasanya menyangkut tiga hal, yakni harga, kualitas dan kegunaan produk, serta layanan purna jual.

E.       TANGGUNG JAWAB PRODUSEN TERHADAP HASIL PRODUKSI
Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam menngkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (Tangible goods), baik yang bergerak maupun  yang  tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen terhadap produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible. Dan yang termasuk dalam pengertian produk di sini tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian  produk yang cacat (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga macam defect:
a.       Production/manufacturing defects, apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.
b.      Design  defects, apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain produk tersebut lebih kecil dari risikonya.
c.       Warning or instruction defects, apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (labels), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman .
Tanggung jawab produk adalah istilah hukum berasal dari alih bahasa istilah product liability, yakni tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacad atau membahayakan orang lain). Dengan kata lain tanggung jawab produk timbul sebagai akibat dari “product schade” yaitu kerugian yang disebabkan oleh barang-barang produk, yang dipasarkan oleh produsen[10]. Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict-liability) atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak itu, produsen telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya[11].  Tujuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab produk adalah untuk[12]:
  1. Menekan tingkat kecelakaan karena produk cacat; atau
  2. Menyediakan saran ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat dihindari.
Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum.[13]
Secara teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi:
  1. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.
  2. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya. 
Sedangkan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besar hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum.[14]


a.       Tuntutan berdasarkan wanprestasi
Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang ada dalam suatu perjanjian antara konsumen dengan produsen. Tuntutan untuk membayar ganti kerugian di sini tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian.
b.      Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum
Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan wanprestasi, tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang merasa dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen sebelumnya.
Persoalan yang masih tersisa dari penyelesaian sengketa konsumen, baik melalui saluran wanprestasi maupun saluran perbuatan melawan hukum adalah keduanya belum dapat melindungi kepentingan konsumen dengan seadil-adilnya. Berkaitan dengan lemahnya kedudukan konsumen ataupun karena tidak mempunyai pengetahuan dan saran yang cukup untuk itu, maka dalam perkembangannya, pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat menempuh cara lain untuk mempergunakan prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability).
Strict liability adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka kewajiban produsen untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen karena mengonsumsi produk yang cacat merupakan suatu risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha. Karena itu, produsen harus lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen.
Di Indonesia konsep strict liability (tanggung jawab mutlak, tanggung jawab risiko) secara implisit dapat ditemukan di dalam pasal 1367 dan Pasal 1368 KUHPerdata. Pasal 1367 KUHPerdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Sedangkan Pasal 1368 KUHPerdata tentang tanggung jawab pemilik atau pemakai seekor binatang buas atas kerugian yang ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun binatang itu dalam keadaan tersesat atau terlepas dari pengawasannya. Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya. Dengan perkataan lain, pemilik barang dan pemilik atau pemakai binatang dapat dituntut bertanggungjawab atas dasar risiko, yaitu risiko yang diambil oleh pemilik barang atau pemilik/pemakai binatang[15].
Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, akan tetapi pihak produsen masih dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan  tanggung jawab produsen tersebut adalah:
a.       Cacat yang  menyebabkan kerugian tersebut tidak  ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian;
b.      Bahwa  produk  tersebut  tidak dibuat oleh  produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis;
c.       Bahwa  terjadinya  cacat pada produk tersebut akibat  keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah;
d.      Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific  an  technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat;
e.       Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut;
f.       Bila pihak yang  menderita kerugian  atau  pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence);
g.      Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.

F.       PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA.
Perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha diatur  dalam bab IV UU PK, yang terdiri dari  10 pasal, dimulai dengan pasal 8 s/d pasal 17. Selain pelaku usaha pabrikan dan pelaku usaha distributor (dan jaringannya), juga meliputi pelaku usaha periklanan. Pada dasarnya seluruh larangan yang berlaku bagi pelaku usaha pabrikan juga dikenakan bagi para pelaku usaha distributor, dan tidak semua larangan yang dikenakan bagi pelaku usaha distributor dikenakan bagi pelaku usaha pabrikan. Satu hal yang juga perlu diperhatikan di sini bahwa Undang-Undang secara tidak langsung juga mengakui adanya kegiatan usaha perdagangan:
§  Yang dilakukan secara individual;
§  Dalam bentuk pelelangan, dengan tidak membedakan jenis atau macam barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
§  Dengan pesanan;
§  Dengan harga khusus dalam waktu dan jumlah tertentu.
Pada dasarnya Undang-Undang tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada masing-masing pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha tersebut, sepanjang para pelaku usaha tersebut menjalankan secara benar dan memberikan informasi yang cukup, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak menyesatkan konsumen yang akan mempergunakan atau memakai atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang diberikan tersebut.
Ketentuan pasal 8 merupakan ketentuan umum, yang berlaku secara general bagi kegiatan usaha dari para pelaku usaha di Indonesia. Larangan tersebut meliputi kegiatan pelaku usaha untuk melaksanakan kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa yang:
a.       Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.      Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.       Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.      Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
e.       Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.       Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.      Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
h.      Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i.        Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j.        Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Secara garis besar laranngan yang dikenakan dalam pasal 8 Undang-Undang tersebut dapat kita bagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu:
  1. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;
  2. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.
Larangan mengenai kelayakan produk, baik itu berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan tersebut. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum” yang harus dipenuhi atau dimilki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Standar minimum tersebut kadang-kadang sudah ada yang menjadi “pengetahuan umum”, namun sedikit banyaknya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk itu, informasi menjadi menjadi suatu hal yang penting bagi konsumen. Informasi yang demikian tidak hanya datang dari pelaku usaha semata-mata, melainkan juga dari berbagai sumber lain yang dapat dipercaya, serta dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan, dengan membeli barang dan/atau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan.[16]

G.      KONSEPSI PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sampai saat ini belum jelas apa yang dimaksud dan apa saja yang termasuk didalam “cabang hukum”  hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan kajian masalah hukum konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan hukum antara lain perdata, pidana, administrasi, dan konvensi internasional.
Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja batasan dari hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup”.
Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu terdapat di dalam berbagai hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis; antara lain hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.
Dari batasan tersebut jelaslah bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang sifatnya lebih spesifik dan khusus. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum  tidak seimbang.
Menurut Janus Sidabalok, sekurang-kurangnya ada empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi:[17]
  1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
  2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi.
  3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional.
  4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), perlindungan kosumen didefinisikan: “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Perlindungan konsumen dalam undang-undang tersebut mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Secara garis besar cakupan perlindungan konsumen dalam UU tersebut adalah:
  1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar  keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Dan persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai.
  2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.
Pertama, mencakup persoalan barang atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan, dimasukkan dalam cakupan tanggung jawab produk, yaitu tanggung jawab yang dibebankan kepada produsen karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat didalamnya sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen, misalnya karena keracunan makanan, barang tidak dapat dipakai untuk tujuan yang diinginkan karena kualitasnya rendah, dan sebagainya.
Kedua, mencakup cara konsumen memperoleh barang dan atau jasa, yang dikelompokkan dalam cakupan standar kontrak yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang diberlakukan oleh produsen kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan barang atau jasa kebutuhannya.

H.      PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN KONSUMEN
Prinsip-prinsip yang  mun cul tentan g kedudukan konsumen dalam hubungan dengan  pelaku usaha berangkat dari doktrin  atau teori yang dikenal  dalam perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen:
1.      Let  the buyer beware. Prinsip kehati-hatian  ada pada konsumen.  Hal  ini dengan adanya asumsi bahwa kedudukan konsumen dan pelaku usaha adalah  seimbang, sehingga konsumen tidak perlu ada proteksi. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai yang selanjutnuya mampu untuk  menentukan pilihan terhadap produk konsumen baik barang dan/atau jasa.
2.      The due care theory, prinsip ini menyatkan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk. Selama berhati-hati dengan produknya ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, pasal  1865 KUHPerdata, yang secara tegas menyatakan, barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu  hak atau untuk  meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunju kepada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
3.      The privity of contract, prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Artinya konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi.

I.         BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN
Upaya-upaya atau bentuk-bentuk perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen dapat dilakukan oleh banyak pihak, baik perlindungan secara individu, perlindungan dari pemerintah, perlindungan dari pelaku usaha dan perlindungan organisasi konsumen.
1.      Perlindungan secara individual
Mengingat konsumen yang seringkali berada pada pihak yang menderita kerugian akibat perilaku pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab serta masih banyak konsumen yang tidak menyadari akan hak-haknya. Maka konsumen perlu diberdayakan melalui pendidikan konsumen, khususnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Pendidikan ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan dalam memilih suatu produk sehingga dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaannya. Dengan pendidikan tersebut konsumen akan dapat memberikan perlindungan terhadap dirinya sendiri dan dapat bertindak dengan benar ketika merasa dirugikan.
2.      Perlindungan dari pelaku usaha
Salah satu kewajiban pelaku usaha adalah “menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku”. Dengan kata lain, pelaku usaha harus memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan sebagaimana ditentukan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pelaku usaha bidang makanan atau pangan harus memperhatikan Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, bagi pelaku usaha yang bergerak dibidang Industri Rumah Tangga harus juga memperhatikan Kep.BPOM No.hk.00.05.5.1640/PP.28/2004 tentang Prosedur Penerbitan Sertifikasi Produk Pangan Industri Rumah Tangga
3.      Perlindungan dari pihak pemerintah
Selain melindungi kepentingan konsumen melalui berbagai undang-undang, upaya pemerintah untuk  melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi serta mengendalikan produksi, distribusi dan peredaran produk, baik kesehatan maupun keuangannya. Dalam hal ini langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah:
a.       Registrasi dan penilaian;
b.      Pengawasan dan distribusi;
c.       Pengawasan distribusi;
d.      Pembinaan dan pengembangan usaha;
e.       Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.
4.      Perlindungan organisasi konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan pengakuan terhadap keberadaan organisasi konsumen atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), yang dituangkan dalam pasal 44 ayat (1). yaitu: “Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.” Kemudian dalam rangka melindungi kepentingan konsumen dan membela hak-hak konsumen yang dirugikan, LPKSM bertugas:
  1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;
  2. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
  3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
  4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
  5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.




J.        PENYELESAIAN SENGKETA
Pada dasarnya penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar pengadilan. Dalam UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab X pasal 45-48. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-lokasi lain yang telah disetujui kedua belah pihak.
1)   Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan diatur dalam pasal 48 UUPK, yang menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”.
Merujuk pada Pasal 46 ayat (1) UUPK, bentuk gugatan yang dapat dilakukan melalui pengadilan ada 3 macam, yaitu: 
a.       Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;  
b.      Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama; 
c.       Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu  berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan  dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan  perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;  
d.      pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasayang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.  
Dalam hukum perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam menyelesaiakan sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanay tiga macam gugatan, yaitu:
a.       Small Claim, jenis gugatan yang dapat dilakukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat kecil. Ada tiga alasan mengapa small claim diijinkan dalam menyelesaoian sengketa konsumen,
§  kepentingan dari pihak penggugat tidak dapat diukur semata karena nilai uang kerugiannya;
§  keyakinan bahwa pintu keadilan terbuka bagi siapa saja;
§  untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.
b.      Class Action, adalah gugatan konsumen dimana korbanya lebih dari satu orang atau gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Gugatan kelompok ini berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 dikenal dengan “gugatan perwakilan kelompok”. Dalam UU Perlindungan Konsumen gugatan kelompok ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 (b ). Pertanyaan muncul  apakah LSM dapat menjadi wakil dari para konsumen? dapat asalkan saja LSM tersebut juga berposisi sebagai korban. Apabila dia tidak sebagai korban maka berdasar pasal 46 ayat 1 (c) (legal standing). Dalam Class  Action wajib memenuhi empat syarat  yang ditetapkan dalam pasal 23 US Federal Of Civil Procedure:
§  Numerosity, jumlah penggugat harus cukup banyak.
§  Commonality, adanya kesamaan soal hukum dan fakta antara pihak yang diwakili dan pihak yang mewakili.
§  Typicality, adanya kesamaan jenius tuntutan hukum dan dasar pembelaan yang digunakan antara anggota yang diwakili dan yang mewakili.
§  Adequacy o f Representation , adanya kemampuan klas yang mewakili dalam mewakili pihak yang diwakili.
c.       Legal Standing,  adalah gugatan yang dilakukan sekelompok konsumen dengan menunjuk pihak LSM yang dalam kegiatannya berkonsentrasi pada kegiatan konsumen  untuk mewakili kepentingan konsumen atau dikenal dengan Hak Gugat LSM. LSM tersebut haruslah berbadan hukum atau yayasan.  Hal ini diatur dalam pasal 1 angka 9 UUPK dan secara teknis diatur dalam PP Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
2)   Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK
BPSK dibentuk pemerintah di tiap-tiap daerah untuk menyelesaikan sengketa di luara pengadilan secara murah, cepat dan sederhana. Secara teknis Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK diatur dalam Surak Keputusan (SK) Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
3)   Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui ADR
Seperti dibahas pada bagain-bagian sebelumnya, selain melalui lembaga peradilan dan BPSK, sengketa konsumen juga bisa diselesaikan melalui ADR. ADR yang paling umum dilakukan adalah dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.



Prosedur Pengaduan[18]
Text Box: Pengaduan KonsumenText Box: Datang LangsungText Box: TeleponText Box: LisanText Box: SuratText Box: Media/ InternetText Box: RegristerText Box: KonfirmasiText Box: Masalah KonsumenText Box: Bukan Masalah KonsumenText Box: Klarifikasi Via SuratText Box: KonfirmasiText Box: Aparat Pusat/DaerahText Box: Pelaku UsahaText Box: Konsumen Text Box: Kebijakan PemerintahText Box: Analisis KasusText Box: Bukti Text Box: Kronologis Text Box: Kebijakan InternalText Box: Peraturan PerundanganText Box: Mediasi  Text Box: Konsolidasi Text Box: Hasil  Text Box: Tidak Selesai  Text Box: Tindak Lanjut  Text Box: Memuaskan   Text Box: Polisi/ PN  Text Box: BPSK
 































Keterangan:
PENGADUAN KONSUMEN
1.      Konsumen mengadukan permasalahannya dalam lingkup perlindungan konsumen.
2.      Konsumen dalam kapasitasnya sebagai konsumen akhir sesuai UUPK.
FASILITAS TERSEDIA
1.    Melalui Telepon :
a.    Penjelasan pokok permasalahan
b.    Kewenangan Penanganan oleh DIrektorat Perlindungan Konsumen
c.    Mendorong konsumen untuk bertindak langsung dengan bekal pemberian advis kepada konsumen
d.    Pengumpulan bukti pendukung
e.    Pengaduan secara tertulis
f.     Penjadwalan pertemuan dengan pejabat pelayanan pengaduan.
          Datang Langsung :
Konsumen membawa permasalahannya langsung ke Subdit Pelayanan Pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen dengan terlebih dahulu melakukan :
a.    Pengisian Formulir Regristrasi Pengaduan
b.    Menguraikan kronologis singkat permasalahan yang dihadapi
c.    Petugas akan meng-croos cek dengan pendataan pengaduan dan bukti pendukung, yang telah diisi oleh konsumen, dalam computer file.
d.    Kelengkapan laporan akan ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu pejabat penerima pengaduan dan konsumen yang mengadu.
e.    Laporan pengaduan konsumen menjadi dasar pembuatan surat klarifikasi kepada pelaku usaha.
f.     Setiap surat yang terkirim, konsumen akan memperoleh tembusan.
               Media Massa :
Pengaduan dapat diterima oleh Subdit Pelayanan Pengaduan melalui Media massa khususnya Surat Pembaca, untuk surat pembaca yang ditanggapi adalah:
a.    Memiliki data identitas lengkap
b.    Menimbulkan gejolak sosial
c.    Berdampak pada kemanan, kenyamanan , dan keselamatan konsumen.
d.    Atas pengaduan yang disampaikan melalui media cetak harus dikumpulkan dalam kliping sebagai data awal yang akurat.
e.    Mengundang kedua belah pihak antara pelaku usaha dan konsumen.
                
               Internet :
Pengaduan dari internet akan ditindak lanjuti dengan cara:
a.    Klasifikasi permasalahan
b.    Pengecekan identitas
c.    Langsung ditanggapi via internet
BENTUK PENGADUAN :
Pengaduan masyarakat dapat disampaikan dalam bentuk tertulis, dikirim melalui surat dengan syarat:
a.    Diketahui alamat dan identitasnya
b.    Dapat disampaikan dalam bahasa Inggris dan Indonesia
c.    Masuk dalam kategori perlindungan konsumen
d.    Selanjutnya diproses dalam register
e.    Dikonfirmasi ulang
f.     Proses selanjutnya mengikuti ketentuan diatas.  
Pengaduan masyarakat dapat disampaikan dalam bentuk lisan, dikirim melalui surat dengan syarat :
a.    Mengisi/ diisikan dalam formulir pendaftaran
b.    Dapat disampaikan dalam bahasa Inggris dan Indonesia
c.    Masuk dalam kategori perlindungan konsumen
d.    Selanjutnya diproses dalam register
e.    Dikonfirmasi ulang
f.     Proses selanjutnya mengikuti ketentuan diatas.
REGISTER
  1. Proses register / regristrasi adalah proses dimana data dimasukkan dalam sistem filling oleh petugas yang bersangkutan, sebagai berikut :
a.    Pengelompokan komoditi pengaduan
b.    Pembagian kasus kepada petugas yang bersangkutan
c.    Pemberian nomor
d.    Pendataan dalam filling
e.    Pengolahan jawaban kasus
f.     Pengiriman jawaban secara tertulis
                        Tujuan register ini adalah untuk menciptakan alur komunikasi yang mudah untuk diakses oleh siapapun
                        Filling status kasus pada akhir penanganan perkara.

MASALAH KONSUMEN
PRINSIP : Mudah, Murah dan Cepat
Penentuan Perkara /masalah konsumen merupakan kunci terpenting dalam penanganan masalah selanjutnya, dengan menggunakan dasar sebagai berikut :
  1. Permasalahan Konsumen :
a.    Ada kerugian konsumen
b.    Konsumen adalah konsumen akhir
c.    Ada pelaku usaha
d.    Produk dapat terdiri atas barang dan atau jasa
  1. Bukan Permasalahan Konsumen :
a.    Klarifikasi melalui surat
b.    Pemberitahuan tugas, wewenang, serta fungsi
3.      Dianggap selesai
KONFIRMASI
Proses pengecekan kebenaran materi pengaduan
  1. Pengiriman surat untuk meminta konfirmasi kepada konsumen
  2. Pemberitahuan kepada aparat/pejabat yang bersangkutan
  3. Penentuan jadwal pertemuan dengan konsumen, pelaku usaha dan keduanya dengan Pejabat Penerima Pelayanan Pengaduan
  4. Klarifikasi biasanya ditujukan kepada konsumen dan pengirim surat tembusan, serta instansi/ dinas yang terkait.
  5. Pejabat yang berwenang akan melakukan :
a.    Penelusuran kebijakan dan peraturan pemerintah yang mendukung
b.    Analisis permasalahan yang diadukan
                        Klarifikasi kepada konsumen, dengan melakukan :
a.    Permintaan bukti pendukung
b.    Kronologis kejadian secara akurat
KLARIFIKASI
Proses jawaban pengaduan dilakukan setelah ada konfirmasi atas posisi pengaduan yang masuk kepada pelaku usaha, untuk selanjutnya pelaku usaha melakukan sanggahan atas pengaduan yang diadukan konsumen dengan mempersiapkan :
a.       Data, hasil uji, dll.
b.      Kebijakan internal perusahaan
c.       Peraturan per –UU an yang mendukung.
d.      Persiapan pembuktian terbalik dari Pelaku Usaha
MEDIASI
Madiasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ke tiga bersifat netral dengan tujuan membantu penyelesaian sengketa dan tidak memiliki wewenang untuk membuat keputusan
KONSILIASI
Konsiliasi adalah penyelesaian yang dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi pihak ke tiga yang bertindak pasif sebagai Konsiliator. Sedangkan proses sepenuhnya diserahkan pada pihak yang bersengketa yaitu Pelaku Usaha dan Konsumen baik menegani bentuk atau jumlah ganti ruginya.
Apabila kedua media ini tidak dapat menghasilkan satu bentuk keputusan maka dakan ditempuh langkah tindak lanjut, berupa:
a.       Pelimpahan ke BPSK
b.      Ke jalur yuridis formil
Demikian mekanisme pelayanan pengaduan konsumen secara lengkap, hasil akhir akan dipilih sendiri oleh para pihak untuk menyelesaikan permaslahannya tersebut.
Tata Cara Penyelesaian Melalui BPSK[19]
1.      Konsiliasi:
a.    BPSK membentuk sebuah badan sebagai pasif fasilitator;
b.    Badan yang membiarkan yang bermasalah untuk menyelesaikan masalah mereka secara menyeluruh oleh mereka sendiri untuk bentuk dan jumlah kompensasi;
c.    Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan dinyatakan sebagai persetujuan rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d.   Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.
2.      Mediasi:
a.    BPSK membentuk sebuah fungsi badan sebagai fasilitator yang aktif untuk memberikan petunjuk, nasehat dan saran kepada yang bermasalah;
b.    Badan ini membiarkan yang bermasalah menyelesaikan permasalahan mereka secara menyeluruh untuk bentuk dan jumlah kompensasinya;
c.    Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan diletakkan pada persetujuan rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d.   Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.

3.      Arbitrasi:
a.    Yang bermasalah memilih badan CDSB sebagai arbiter dalam menyelesaikan masalah konsumen;
b.    Kedua belah pihak seutuhnya membiarkan badan tersebut menyelesaikan permasalahan mereka;
c.    BPSK membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat;
d.   Penyelesaian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling lama.
e.    Ketika kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua belah pihak dapat mengajukan keluhan kepada pengadilan negeri dalam 14 hari setelah penyelesaian di informasikan;
f.     Tuntutan dari kedua belah pihak harus dipenuhi dengan persyaratan sebagai berikut:
ü Surat atau dokumen yang diberikan ke pengadilan adalah diakui atau dituntut salah/palsu;
ü Dokumen penting ditemukan dan di sembunyikan oleh lawan; atau;
ü Penyelesaian dilakukan melalui satu dari tipuan pihak dalam investigasi permasalahan di pengadilan.
g.    Pengadilan negeri dari badan peradilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam 21 hari kerja;
h.    Jika kedua belah pihak tidak puas pada keputusan pengadilan/penyelesaian, mereka tetap memberikan kesempatan untuk mendapatkan sebuah kekuatan hukum yang cepat kepada pengadilan tinggi dalam jangka waktu 14 hari.
i.      Pengadilan Tinggi badan pengadilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam jangka waktu 30 hari.










Diagram Alur Tata Cara Penyelesaian Sengketa melalui BPSK

Pengajuan Pengaduan

Pengaduan Konsumen ke BPSK

Mediasi

BPSK Memberikan Keputusan
UUPK Ps 54 ayat 3

Putusan BPSK


Pengaduan Selesai Ditangani

Pengajuan ke PN

Putusan MA

Pengaduan Selesai Ditangani

Para Pihak Wajib Melaksanakan Putusan

Pelaksanaan Putusan


21 Hr kerja
UUPK Ps 55

Putusan Final dan Mengikat

Putusan Final dan Mengikat

Putusan Ditolak Para Pihak

Putusan Diterima
Para Pihak

7 Hr Kerja
UUPK Ps 56

Tidak Dilaksanakan

14 Hr Kerja UUPK Ps 56

Putusan diterima Para pihak

21 Hr Kerja

Putusan ditolak Para Pihak

14 Hr Kerja

30 Hr Kerja UUPK Ps 58

Konsolidasi

TidakSepakat

Putusan PN UUPK Ps 58

Sepakat?


BPSK meminta Bantuan Untuk Penyelidikan Kriminal
UUPK Ps 56 (4)

Arbitrase

Perma 1 Tahun
 


































K.      PENUTUP
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hendaknya konsumen lebih kritis dan teliti serta banyak menggali informasi mengenai hak dan kewajibannya sebagai konsumen, sehingga jika dirugikan oleh pelaku usaha maka konsumen mengetahui apa yang harus dilakukan, serta menumbuhkan kesadaran dalam diri konsumen bahwa jalan yang ditempuh oleh konsumen untuk memperoleh hak-haknya tersebut juga merupakan bentuk solidaritas terhadap konsumen lain yang mungkin juga akan dirugikan apabila konsumen tidak mengadukan kerugian yang dialaminya tersebut.

Daftar Pustaka
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2007. Hukum Perlindungan Konsumen,  PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
AZ Nasution, 1995.Konsumen dan Hukum, Ctk. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
http://pkditjenpdn.depdag.go.id
Janus Sidabalok, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
M. Ali Mansyur, 2007. Penegakan Hukum tentang Tanggung Gugat Produsen dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta
Muyassarotussolichah, 2009. Aspek Hukum Dalam Bisnis, Ctk. Kedua, Program Studi Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
R. Setiawan, 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Ctk. Keenam, Putra A Bardin, Bandung
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen




[1] Yaitu setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Contoh klausula baku yang tercantum dalam bukti transaksi biasanya memuat “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar”.
[2] UU PK No. 8 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pengertian konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir.
[3] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Ctk. Keenam, Putra Abardin, Bandung, 1999, hlm. 68
[4] M. Ali Mansyur, Penegakkan Hukum tentang Tanggung Gugat Produsen dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 79
[5] Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, PT. Pradnya paramita, Jakarta, 1991, hlm. 154. Dikutip kembali oleh Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Ctk. Kedua, Program Studi Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009, hlm. 128.
[6]Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Granfindo Persada Jakarta, 2007, hlm. 38
[7] Ibid; hlm. 39
[8] Ibid; hlm. 47
[9] M. Ali Mansyur, Penegakkan Hukum tentang Tanggung Gugat Produsen dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 54
[10] Ibid, hlm. 52
[11] AZ Nasution, Konsumen dan Hukum, Ctk. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 174
[12] Ibid, hlm.175
[13] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 101
[14] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Granfindo Persada Jakarta, 2007, hlm. 127
[15] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 115-119
[16] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 39
[17] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 6
[18] Diambil dari situs Direktorat Perlindungan Konsumen http://pkditjenpdn.depdag.go.id/ 4 April 2009, 22.00

[19] Ibid 

No comments:

Post a Comment