A.
PENDAHULUAN
Dalam
kegiatan bisnis sehari-hari terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara
pelaku usaha dengan konsumen (pemakai barang atau jasa). Kepentingan pelaku
usaha adalah untuk memperoleh laba dari
transaksi dengan konsumen, sedangkan
kepentingan konsumen adalah untuk memproleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu.
kepentingan konsumen adalah untuk memproleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu.
Dalam
hubungan demikian seringkali terdapat ketidaksetaraan antara pelaku usaha
dengan konsumen. Konsumen biasanya berada pada posisi tawar yang lemah sehingga
memungkinkannya untuk dijadikan objek eksploitasi untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya oleh pelaku usaha yang secara sosial dan ekonomi memiliki
posisi yang kuat melalui promosi dan klausula baku[1]
yang seringkali merugikan konsumen. Akibatnya hak-hak konsumen dan kewajiban
pelaku usaha tidak dapat terealisasikan dengan baik.
Faktor
utama yang menjadi kelemahan konsumen sering kali disebabkan karena tingkat
pengetahuan hukum dan kesadaran konsumen akan haknya yang masih rendah, kondisi
seperti ini oleh pelaku usaha dimanfaatkan untuk meraup keuntungan
sebesar-besarnya dengan tidak mengidahkan kewajiban-kewajiban yang sudah
seharusnya melekat pada para pelaku usaha. Untuk itu perlu diimbangi dengan
adanya upaya perlindungan konsumen terhadap resiko kemungkinan kerugian akibat
penggunaan produk (barang atau jasa) melalui upaya pencegahan dari
ketidakpastian atas mutu, jumlah dan keamanan.
Dan
akhirnya, pada tanggal 20 April 1999 pemerintah berhasil mensahkan peraturan
perundang-undangan mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK).
Undang-undang tersebut merupakan landasan dasar bagi konsumen Indonesia untuk
melindungi dirinya dari tindakan pelaku usaha yang dapat merugikan.
Meskipun
ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen, UU PK tidak bertujuan untuk
mematikan pelaku usaha. Sebab dengan adanya UU PK, pelaku usaha diharapkan
lebih termotivasi untuk meningkatkan daya saingnya dengan memperhatikan
kepentingan konsumen. Dalam pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan
diundangkannya Undang-undang tersebut adalah untuk:
1.
Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2.
Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;
3.
Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen;
4.
Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5.
Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6.
Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Sedangkan asas
yang dianut dalam UU PK sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 adalah:
1.
Asas
manfaat.
Dimaksudkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada
kedua belah pihak atau kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2.
Asas
keadilan.
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.
Asas
keseimbangan.
Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material ataupun.
4.
Asas
keamanan dan keselamatan konsumen.
Penerapan asas ini diharapkan akan memberikan jaminan atas keamanan
dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas
kepastian hukum.
Dimaksudkan
agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum.
B.
PENGERTIAN
KONSUMEN DAN PELAKU USAHA
B.1.
Konsumen
Dalam
kamus bahasa, istilah konsumen merupakan alih bahasa dari consumer
(Inggris-Amerika) yang secara harfiah berarti “seseorang yang membeli
barang atau menggunakan jasa”, atau “Seseorang atau suatu perusahaan
yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”. Ada pula yang
memberikan arti lain, yaitu konsumen yang berarti “setiap orang yang
menggunakan barang atau jasa”.
Dalam
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa
konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”[2].
Sekalipun
semua orang mengerti bahwa sangat sulit untuk membuat suatu batasan tentang
pengertian konsumen tanpa memuat berbagai kekurangan didalamnya, R. Setiawan[3]
mencoba memberikan batasan pengertian konsumen sebagai “setiap orang yang
mendapatkan secara sah dan menggunakan barang/jasa untuk suatu kegunaan
tertentu”.
Dengan
demikian yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam batasan diatas adalah orang
alamiah maupun orang yang diciptakan oleh hukum (badan hukum). Unsur
“mendapatkan” juga digunakan dalam batasan ini, karena perolehan barang atau
jasa oleh konsumen tidak saja berdasarkan suatu hubungan hukum (perjanjian jual
beli, sewa menyewa, pinjam-pakai dan sejenisnya), tetapi juga mungkin terjadi
karena pemberian sumbangan, hadiah-hadiah atau yang lain, baik yang berkaitan
dengan suatu hubungan komersial maupun dalam hubungan lainnya (non-komersial).
“Mendapatkan secara sah” adalah mendapatkan suatu barang atau jasa dengan
cara-cara yang tidak bertentangan dan atau /melawan hukum. Selanjutnya unsur
“kegunaan tertentu” memberikan tolok ukur pembeda antara berbagai konsumen yang
dikenal (konsumen antara dan konsumen akhir). Tergantung untuk kegunaan apakah
suatu barang atau jasa itu diperlukan. Apabila kegunaan tertentu itu adalah
untuk tujuan memproduksi barang atau jasa lain dan atau untuk dijual kembali
(tujuan komersial), maka kita akan berhadapan dengan konsumen antara. Apabila
kegunaan tertentu itu adalah untuk tujuan memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga
atau rumah tangganya serta tidak untuk dijual kembali (tujuan non-komersial),
maka konsumen tersebut adalah konsumen akhir.
David L. London dan Alberts
Dellabitta, menyatakan bahwa konsumen akhir mempunyai arti sebagai
individu-individu yang melakukan pembelian untuk memenuhi kebutuhan pribadinya
atau konsumsi rumah tangganya.[4]
B.
2. Pelaku usaha (produsen)
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi produsen adalah mereka yang
menghasilkan suatu bahan atau barang, atau mengelola suatu jasa untuk digunakan
oleh pihak lain (konsumen).
Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam penjelasan pasal ini
dijelaskan bahwa pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah
perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan
lain-lain.
Dengan
demikian jelaslah bahwa pengertian pelaku usaha menurut UU PK sangat luas,
bukan hanya produsen melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara
antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen
perantara).
Ketentuan dalam
Undang-undang di atas dapat kita jabarkan ke dalam beberapa syarat, yakni:
1.
Bentuk
atau wujud dari pelaku usaha:
ü Orang perorangan, yakni setiap individu yang secara seorang diri
melakukan kegiatan usaha.
ü Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersama-sama
melakukan kegiatan usaha. Badan usaha dapat dikelompokkan kedalam dua kategori,
yakni:
§ Badan hukum. Badan usaha yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori
badan hukum adalah yayasan, perseroan terbatas dan koperasi.
§ Bukan badan hukum. Jenis badan usaha selain ketiga bentuk badan
usaha diatas dapat dikategorikan sebagai badan usahan bukan badan hukum, atau
sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha secara insidentil. Misalnya,
pada saat mobil kita mogok karena terjebak banjir, ada tiga orang pemuda yang
menawarkan untuk mendorong mobil kita dengan syarat mereka diberi imbalan Rp.
50.000,-. Tiga orang ini dapat dikategorikan sebagai badan usaha dan bukan
badan hukum.
2.
Memenuhi
salah satu kriteria di bawah ini :
§ Didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Negara Republik
Indonesia.
§ Melakukan kegiatan di wilayah hukun Negara Republik Indonesia.
§ Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian.
C.
HAK
DAN KEWAJIBAN
C.1.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Sebelum
membahas mengenai hak konsumen, ada baiknya kita memahami dulu apa pengertian
hak. Dalam istilah bahasa Indonesia hak mempunyai beberapa arti, diantaranya:
milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan dalam bahasa
hukum hak adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena hal tersebut telah
ditentukan oleh Undang-undang atau peraturan lainnya.[5]
Dari sini dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu kekuasaan yang pemenuhannya
dilindungi oleh hukum.
Adapun hak
konsumen yang diatur dalam pasal 4 UU PK, yakni:
a.
Hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau
jasa;
b.
Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
Hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d.
Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang
digunakan;
e.
Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f.
Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h.
Hak
untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak
konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UUPK lebih luas daripada hak-hak
dasar konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F.
Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas:[6]
a.
Hak
memperoleh keamanan;
b.
Hak
memilih;
c.
Hak
mendapat informasi;
d.
Hak
untuk didengar.
Keempat
hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang
dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang oleh Organisasi Konsumen
Sedunia (International Organization of Consumers Union - IOCU)
ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:[7]
- Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
- Hak untuk memperoleh ganti rugi;
- Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
- Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang
bersih dan sehat.
Dari
rumusan-rumusan hak konsumen tersebut, secara garis besar dapat dibagi dalam
tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu[8]:
a.
Hak
yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal,
maupun kerugian harta kekayaan;
b.
Hak
untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;
c.
Hak
untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.
Sedangkan
kewajiban yang diatur dalam pasal 5 UU PK adalah:
a.
Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
Barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.
Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
C.2.
Hak dan Kewajiban Produsen
Dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa hak pelaku usaha adalah:
a.
Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.
Hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
c.
hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d.
Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan;
e.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak
yang diberikan oleh Undang-undang kepada pelaku usaha merupakan konsekuensi
logis dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai pelaku usaha. Dan
implementasi dari kewajiban-kewajiban pelaku usaha inilah yang merupakan wujud
dari tanggung jawab pelaku usaha. Dengan kata lain pelaku usaha yang
mengabaikan kewajiban-kewajibannya adalah pelaku usaha yang tidak bertanggung
jawab. Karenanya layak untuk mendapatkan sanksi.[9]
Dalam pasal 7
UU PK menyebutkan tetang kewajiban
pelaku usaha, yaitu:
a.
Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.
Menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.
Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f.
Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
D.
TAHAPAN
TRANSAKSI KONSUMEN
1.
Tahap
Pratransaksi
Pada tahap ini konsumen masih mencari keterangan di mana barang
atau jasa kebutuhannya dapat ia peroleh, berapa harganya dan syarat-syarat yang
harus dipenuhinya. Pada tahap ini informasi tentang barang atau jasa memegang
peranan penting. Informasi yang benar dan bertanggungjawab (informative
information) merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum ia dapat mengambil
keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi.
Putusan pilihan konsumen yang benar sangat tergantung pada
kebenaran dan bertanggung-jawabnya informasi yang disediakan kalangan usaha
yang bersangkutan. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa konsumen membeli
karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan, konsumen memiliki hak untuk
membatalkan transaksi yang telah dilakuakan (Pasal 1321 KUH Perdata).
1.
Tahap
Transaksi yang Sesungguhnya
Pada fase ini, transaksi konsumen dan produsen sudah terjadi.
Sehingga pada tahap ini para pihak
menyepakati apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing. Kesepakatan ini
kemudian dapat dituangkan ke dalam suatu perjanjian tertulist dan tidak
tertulis. Namun apabila nanti terjadi sengketa, maka kesepakatan yang dibuat
secara tertulis akan lebih mudah dibuktikan dibanding kesepakatan yang tidak
dibuat secara tidak tertulis.
2.
Tahap
Purnatransaksi
Tahap ini merupakan realisasi dari tahap transaksi. Pada tahap ini
para pihak harus melaksanakan semua kewajiban yang telah disepakati sebelumnya.
Menurut bahasa hukum, kewajiban yang harus dipenuhi adalah prestasi, dan pihak
yang tidak memenuhi kewajibannya dianggap melakukan wanprestasi. Dengan adanya
wanprestasi, pihak yang telah memenuhi kewajibannya memiliki hak untuk menuntut
pihak yang melakukan wanprestasi agar melakukan prestasinya.
Seringkali para pihak memiliki pemahaman yang berbeda mengenai isi
perjanjian. Adanya perbedaan pemahaman akan menimbulkan perbedaan penafsiran,
yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik. Penyebab konflik biasanya
menyangkut tiga hal, yakni harga, kualitas dan kegunaan produk, serta layanan
purna jual.
E.
TANGGUNG
JAWAB PRODUSEN TERHADAP HASIL PRODUKSI
Sesuai
dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan
dalam menngkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan
kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier,
pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk,
bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang
menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Produk
secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang
(Tangible goods), baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab
produsen terhadap produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga
termasuk yang bersifat intangible. Dan yang termasuk dalam pengertian
produk di sini tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara
keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Berkenaan
dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian produk yang cacat (defective product)
yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga macam defect:
a.
Production/manufacturing
defects, apabila suatu
produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk
tersebut tidak aman bagi konsumen.
b.
Design defects, apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat
yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain produk
tersebut lebih kecil dari risikonya.
c.
Warning
or instruction defects,
apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (labels), atau plakat
tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari
produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman .
Tanggung
jawab produk adalah istilah hukum berasal dari alih bahasa istilah product
liability, yakni tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan tertentu
produk (cacad atau membahayakan orang lain). Dengan kata lain tanggung jawab
produk timbul sebagai akibat dari “product schade” yaitu kerugian yang
disebabkan oleh barang-barang produk, yang dipasarkan oleh produsen[10].
Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict-liability) atau semua
kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri
sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk
atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab
mutlak itu, produsen telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada
konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability
without fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa
kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan
padanya[11].
Tujuan peraturan perundang-undangan
tentang tanggung jawab produk adalah untuk[12]:
- Menekan tingkat kecelakaan karena produk
cacat; atau
- Menyediakan saran ganti rugi bagi (korban)
produk cacat yang tak dapat dihindari.
Dalam
hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang
menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban
itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap
peristiwa hukum.[13]
Secara
teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul
antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk
bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi:
- Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan,
yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan
melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.
- Pertanggungjawaban atas dasar risiko,
yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil
oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.
Sedangkan
tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat
penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat
didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besar hanya ada dua
kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan
tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum.[14]
a.
Tuntutan
berdasarkan wanprestasi
Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan
akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang ada dalam
suatu perjanjian antara konsumen dengan produsen. Tuntutan untuk membayar ganti
kerugian di sini tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam
perjanjian.
b.
Tuntutan
Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum
Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan wanprestasi,
tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak
perlu didahului dengan perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga
tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang merasa
dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen
dengan konsumen sebelumnya.
Persoalan
yang masih tersisa dari penyelesaian sengketa konsumen, baik melalui saluran
wanprestasi maupun saluran perbuatan melawan hukum adalah keduanya belum dapat
melindungi kepentingan konsumen dengan seadil-adilnya. Berkaitan dengan
lemahnya kedudukan konsumen ataupun karena tidak mempunyai pengetahuan dan
saran yang cukup untuk itu, maka dalam perkembangannya, pengadilan-pengadilan
di Amerika Serikat menempuh cara lain untuk mempergunakan prinsip
pertanggungjawaban mutlak (strict liability).
Strict liability
adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip
pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada
kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan
pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena
perbuatan melawan hukum itu. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka
kewajiban produsen untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen karena
mengonsumsi produk yang cacat merupakan suatu risiko, yaitu termasuk dalam
risiko usaha. Karena itu, produsen harus lebih berhati-hati dalam menjaga
keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen.
Di
Indonesia konsep strict liability (tanggung jawab mutlak, tanggung jawab
risiko) secara implisit dapat ditemukan di dalam pasal 1367 dan Pasal 1368 KUHPerdata.
Pasal 1367 KUHPerdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian
yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Sedangkan Pasal 1368 KUHPerdata tentang tanggung jawab pemilik atau pemakai
seekor binatang buas atas kerugian yang ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun
binatang itu dalam keadaan tersesat atau terlepas dari pengawasannya. Keadaan
tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa
mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya.
Dengan perkataan lain, pemilik barang dan pemilik atau pemakai binatang dapat
dituntut bertanggungjawab atas dasar risiko, yaitu risiko yang diambil oleh
pemilik barang atau pemilik/pemakai binatang[15].
Meskipun
sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability,
akan tetapi pihak produsen masih dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya,
baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat
membebaskan tanggung jawab
produsen tersebut adalah:
a.
Cacat
yang menyebabkan kerugian tersebut
tidak ada pada saat produk diedarkan
oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian;
b.
Bahwa produk
tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan
untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis;
c.
Bahwa terjadinya
cacat pada produk tersebut akibat
keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah;
d.
Bahwa
secara ilmiah dan teknis (state of scintific
an technical knowledge, state or art
defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat;
e.
Dalam
hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain
dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan
kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut;
f.
Bila
pihak yang menderita kerugian atau
pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory
negligence);
g.
Kerugian
yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.
F.
PERBUATAN
YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA.
Perbuatan
yang dilarang bagi para pelaku usaha diatur
dalam bab IV UU PK, yang terdiri dari
10 pasal, dimulai dengan pasal 8 s/d pasal 17. Selain pelaku usaha
pabrikan dan pelaku usaha distributor (dan jaringannya), juga meliputi pelaku
usaha periklanan. Pada dasarnya seluruh larangan yang berlaku bagi pelaku usaha
pabrikan juga dikenakan bagi para pelaku usaha distributor, dan tidak semua larangan
yang dikenakan bagi pelaku usaha distributor dikenakan bagi pelaku usaha
pabrikan. Satu hal yang juga perlu diperhatikan di sini bahwa Undang-Undang
secara tidak langsung juga mengakui adanya kegiatan usaha perdagangan:
§ Yang dilakukan secara individual;
§ Dalam bentuk pelelangan, dengan tidak membedakan jenis atau macam
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
§ Dengan pesanan;
§ Dengan harga khusus dalam waktu dan jumlah tertentu.
Pada
dasarnya Undang-Undang tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada
masing-masing pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha tersebut,
sepanjang para pelaku usaha tersebut menjalankan secara benar dan memberikan
informasi yang cukup, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak
menyesatkan konsumen yang akan mempergunakan atau memakai atau memanfaatkan
barang dan/atau jasa yang diberikan tersebut.
Ketentuan
pasal 8 merupakan ketentuan umum, yang berlaku secara general bagi kegiatan
usaha dari para pelaku usaha di Indonesia. Larangan tersebut meliputi kegiatan
pelaku usaha untuk melaksanakan kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang
dan/atau jasa yang:
a.
Tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b.
Tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.
Tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
d.
Tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
e.
Tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f.
Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.
Tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tersebut;
h.
Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label;
i.
Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,
akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j.
Tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Secara
garis besar laranngan yang dikenakan dalam pasal 8 Undang-Undang tersebut dapat
kita bagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu:
- Larangan mengenai produk itu sendiri, yang
tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau
dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;
- Larangan mengenai ketersediaan informasi
yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.
Larangan
mengenai kelayakan produk, baik itu berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya
berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan tersebut. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum”
yang harus dipenuhi atau dimilki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu
sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi
oleh masyarakat luas. Standar minimum tersebut kadang-kadang sudah ada yang
menjadi “pengetahuan umum”, namun sedikit banyaknya masih memerlukan penjelasan
lebih lanjut. Untuk itu, informasi menjadi menjadi suatu hal yang penting bagi
konsumen. Informasi yang demikian tidak hanya datang dari pelaku usaha
semata-mata, melainkan juga dari berbagai sumber lain yang dapat dipercaya,
serta dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan,
dengan membeli barang dan/atau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk
diperdagangkan.[16]
G.
KONSEPSI
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sampai
saat ini belum jelas apa yang dimaksud dan apa saja yang termasuk didalam
“cabang hukum” hukum
konsumen atau hukum perlindungan konsumen. Hal ini
dikarenakan kajian masalah hukum konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan
hukum antara lain perdata, pidana, administrasi, dan konvensi internasional.
Menurut
Prof. Mochtar Kusumaatmadja batasan dari hukum konsumen adalah “keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen,
di dalam pergaulan hidup”.
Asas-asas
dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu
terdapat di dalam berbagai hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis;
antara lain hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi dan
hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan
kepentingan-kepentingan konsumen.
Dari
batasan tersebut jelaslah bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian
dari hukum konsumen yang sifatnya lebih spesifik dan khusus. Hukum perlindungan
konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum tidak seimbang.
Menurut
Janus Sidabalok, sekurang-kurangnya ada empat alasan pokok mengapa konsumen
perlu dilindungi:[17]
- Melindungi konsumen sama artinya dengan
melindungi seluruh bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan
pembangunan nasional menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
- Melindungi konsumen perlu untuk
menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi.
- Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan
manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku
pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan
nasional.
- Melindungi konsumen perlu untuk menjamin
sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.
Dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK),
perlindungan kosumen didefinisikan: “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Perlindungan
konsumen dalam undang-undang tersebut mempunyai cakupan yang luas meliputi
perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari
pemakaian barang dan jasa itu. Secara garis besar cakupan perlindungan konsumen
dalam UU tersebut adalah:
- Perlindungan terhadap kemungkinan
diserahkan kepada konsumen barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan
apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam
kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku,
proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan sebagainya, apakah
telah sesuai dengan standar keamanan
dan keselamatan konsumen atau tidak. Dan persoalan tentang bagaimana
konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau
mengonsumsi produk yang tidak sesuai.
- Perlindungan terhadap diberlakukannya
kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk
persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga,
layanan purnajual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku
produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.
Pertama,
mencakup persoalan barang atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan,
dimasukkan dalam cakupan tanggung jawab produk, yaitu tanggung jawab yang
dibebankan kepada produsen karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu
mengandung cacat didalamnya sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen,
misalnya karena keracunan makanan, barang tidak dapat dipakai untuk tujuan yang
diinginkan karena kualitasnya rendah, dan sebagainya.
Kedua,
mencakup cara konsumen memperoleh barang dan atau jasa, yang dikelompokkan
dalam cakupan standar kontrak yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang
diberlakukan oleh produsen kepada konsumen pada waktu konsumen hendak
mendapatkan barang atau jasa kebutuhannya.
H.
PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN KONSUMEN
Prinsip-prinsip yang
mun cul tentan g kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan sejarah hukum perlindungan
konsumen:
1. Let
the buyer beware. Prinsip kehati-hatian ada pada konsumen. Hal
ini dengan adanya asumsi bahwa kedudukan konsumen dan pelaku usaha adalah seimbang, sehingga konsumen tidak perlu ada
proteksi. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen tidak
mendapat informasi yang memadai yang selanjutnuya mampu untuk menentukan pilihan terhadap produk konsumen
baik barang dan/atau jasa.
2. The due care theory, prinsip ini menyatkan bahwa pelaku
usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk.
Selama berhati-hati dengan produknya ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip
ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini
sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian
ada pada penggugat, pasal 1865
KUHPerdata, yang secara tegas menyatakan, barangsiapa yang mendalilkan
mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang
lain, atau menunju kepada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut.
3. The privity of contract, prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara
mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat
disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Artinya konsumen dapat menggugat
berdasarkan wanprestasi.
I.
BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN
Upaya-upaya
atau bentuk-bentuk perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen
dapat dilakukan oleh banyak pihak, baik perlindungan secara individu,
perlindungan dari pemerintah, perlindungan dari pelaku usaha dan perlindungan
organisasi konsumen.
1.
Perlindungan
secara individual
Mengingat konsumen
yang seringkali berada pada pihak yang menderita kerugian akibat perilaku
pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab serta masih banyak konsumen yang
tidak menyadari akan hak-haknya. Maka konsumen perlu diberdayakan melalui
pendidikan konsumen, khususnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya sebagai
konsumen. Pendidikan ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan
maupun keterampilan yang diperlukan dalam memilih suatu produk sehingga dapat
terhindar dari kerugian akibat penggunaannya. Dengan pendidikan tersebut
konsumen akan dapat memberikan perlindungan terhadap dirinya sendiri dan dapat
bertindak dengan benar ketika merasa dirugikan.
2.
Perlindungan
dari pelaku usaha
Salah satu
kewajiban pelaku usaha adalah “menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku”. Dengan kata lain, pelaku usaha harus memenuhi
persyaratan keamanan dan keselamatan sebagaimana ditentukan oleh pemerintah. Sebagai
contoh, pelaku usaha bidang makanan atau pangan harus memperhatikan
Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 69
tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan serta Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, bagi pelaku usaha yang
bergerak dibidang Industri Rumah Tangga harus juga memperhatikan Kep.BPOM
No.hk.00.05.5.1640/PP.28/2004 tentang Prosedur Penerbitan Sertifikasi Produk
Pangan Industri Rumah Tangga
3.
Perlindungan
dari pihak pemerintah
Selain
melindungi kepentingan konsumen melalui berbagai undang-undang, upaya
pemerintah untuk melindungi konsumen
dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi
serta mengendalikan produksi, distribusi dan peredaran produk, baik kesehatan
maupun keuangannya. Dalam hal ini langkah-langkah yang dapat ditempuh
pemerintah adalah:
a.
Registrasi
dan penilaian;
b.
Pengawasan
dan distribusi;
c.
Pengawasan
distribusi;
d.
Pembinaan
dan pengembangan usaha;
e.
Peningkatan
dan pengembangan prasarana dan tenaga.
4.
Perlindungan
organisasi konsumen
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memberikan pengakuan terhadap keberadaan organisasi
konsumen atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), yang dituangkan
dalam pasal 44 ayat (1). yaitu: “Pemerintah mengakui lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.” Kemudian dalam rangka
melindungi kepentingan konsumen dan membela hak-hak konsumen yang dirugikan, LPKSM
bertugas:
- Menyebarkan informasi dalam rangka
meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen
dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;
- Memberikan nasihat kepada konsumen yang
memerlukannya;
- Bekerja sama dengan instansi terkait dalam
upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
- Membantu konsumen dalam memperjuangkan
haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
- Melakukan pengawasan bersama pemerintah
dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
J.
PENYELESAIAN
SENGKETA
Pada
dasarnya penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau
diluar pengadilan. Dalam UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab
X pasal 45-48. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui
Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan
Konsumen atau lokasi-lokasi lain yang telah disetujui kedua belah pihak.
1)
Penyelesaian
Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan
Penyelesaian
sengketa konsumen melalui pengadilan diatur dalam pasal 48 UUPK, yang
menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada
ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan
dalam Pasal 45”.
Merujuk
pada Pasal 46 ayat (1) UUPK, bentuk gugatan yang dapat dilakukan melalui
pengadilan ada 3 macam, yaitu:
a.
Seorang
konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.
Sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
c.
Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.
pemerintah
dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasayang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit.
Dalam hukum
perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam menyelesaiakan
sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanay tiga macam gugatan, yaitu:
a.
Small
Claim, jenis gugatan
yang dapat dilakukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis nilai
gugatannya sangat kecil. Ada tiga alasan mengapa small claim diijinkan dalam menyelesaoian
sengketa konsumen,
§ kepentingan dari pihak penggugat tidak dapat diukur semata karena nilai
uang kerugiannya;
§ keyakinan bahwa pintu keadilan terbuka bagi siapa saja;
§ untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.
b. Class
Action, adalah gugatan konsumen dimana korbanya lebih dari satu orang atau gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang.
Gugatan kelompok ini berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 dikenal
dengan “gugatan perwakilan kelompok”. Dalam UU Perlindungan Konsumen gugatan
kelompok ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 (b ). Pertanyaan muncul apakah LSM dapat menjadi wakil dari para
konsumen? dapat asalkan saja LSM tersebut juga berposisi sebagai korban. Apabila
dia tidak sebagai korban maka berdasar pasal 46 ayat 1 (c) (legal standing).
Dalam Class Action wajib memenuhi empat
syarat yang ditetapkan dalam pasal 23 US
Federal Of Civil Procedure:
§ Numerosity,
jumlah penggugat harus cukup banyak.
§ Commonality,
adanya kesamaan soal hukum dan fakta antara pihak yang
diwakili dan pihak yang mewakili.
§ Typicality,
adanya kesamaan jenius tuntutan hukum dan dasar pembelaan
yang digunakan antara anggota yang diwakili dan yang mewakili.
§ Adequacy
o f Representation , adanya kemampuan klas yang mewakili dalam mewakili pihak yang diwakili.
c.
Legal
Standing, adalah gugatan yang dilakukan
sekelompok konsumen dengan menunjuk pihak LSM yang dalam kegiatannya berkonsentrasi
pada kegiatan konsumen untuk mewakili
kepentingan konsumen atau dikenal dengan Hak Gugat LSM. LSM tersebut haruslah berbadan
hukum atau yayasan. Hal ini diatur dalam
pasal 1 angka 9 UUPK dan secara teknis diatur dalam PP Nomor 59 Tahun 2001
tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
2)
Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK
BPSK dibentuk pemerintah di tiap-tiap daerah
untuk menyelesaikan sengketa di luara pengadilan secara murah, cepat dan
sederhana. Secara teknis Penyelesaian Sengketa
Melalui BPSK diatur dalam Surak Keputusan (SK) Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001
tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
3)
Penyelesaian
Sengketa Konsumen Melalui ADR
Seperti
dibahas pada bagain-bagian sebelumnya, selain melalui lembaga peradilan dan BPSK,
sengketa konsumen juga bisa diselesaikan melalui ADR. ADR yang paling umum
dilakukan adalah dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Prosedur Pengaduan[18]
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Keterangan:
PENGADUAN
KONSUMEN
1.
Konsumen
mengadukan permasalahannya dalam lingkup perlindungan konsumen.
2.
Konsumen
dalam kapasitasnya sebagai konsumen akhir sesuai UUPK.
FASILITAS
TERSEDIA
1.
Melalui
Telepon :
a.
Penjelasan
pokok permasalahan
b.
Kewenangan
Penanganan oleh DIrektorat Perlindungan Konsumen
c.
Mendorong
konsumen untuk bertindak langsung dengan bekal pemberian advis kepada konsumen
d.
Pengumpulan
bukti pendukung
e.
Pengaduan
secara tertulis
f.
Penjadwalan
pertemuan dengan pejabat pelayanan pengaduan.
Datang
Langsung :
Konsumen
membawa permasalahannya langsung ke Subdit Pelayanan Pengaduan di Direktorat
Perlindungan Konsumen dengan terlebih dahulu melakukan :
a.
Pengisian
Formulir Regristrasi Pengaduan
b.
Menguraikan
kronologis singkat permasalahan yang dihadapi
c.
Petugas
akan meng-croos cek dengan pendataan pengaduan dan bukti pendukung, yang telah
diisi oleh konsumen, dalam computer file.
d.
Kelengkapan
laporan akan ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu pejabat penerima
pengaduan dan konsumen yang mengadu.
e.
Laporan
pengaduan konsumen menjadi dasar pembuatan surat klarifikasi kepada pelaku
usaha.
f.
Setiap
surat yang terkirim, konsumen akan memperoleh tembusan.
Media
Massa :
Pengaduan dapat
diterima oleh Subdit Pelayanan Pengaduan melalui Media massa khususnya Surat
Pembaca, untuk surat pembaca yang ditanggapi adalah:
a.
Memiliki
data identitas lengkap
b.
Menimbulkan
gejolak sosial
c.
Berdampak
pada kemanan, kenyamanan , dan keselamatan konsumen.
d.
Atas
pengaduan yang disampaikan melalui media cetak harus dikumpulkan dalam kliping
sebagai data awal yang akurat.
e.
Mengundang
kedua belah pihak antara pelaku usaha dan konsumen.
Internet
:
Pengaduan dari
internet akan ditindak lanjuti dengan cara:
a.
Klasifikasi
permasalahan
b.
Pengecekan
identitas
c.
Langsung
ditanggapi via internet
BENTUK
PENGADUAN :
Pengaduan
masyarakat dapat disampaikan dalam bentuk tertulis, dikirim melalui surat
dengan syarat:
a.
Diketahui
alamat dan identitasnya
b.
Dapat
disampaikan dalam bahasa Inggris dan Indonesia
c.
Masuk
dalam kategori perlindungan konsumen
d.
Selanjutnya
diproses dalam register
e.
Dikonfirmasi
ulang
f.
Proses
selanjutnya mengikuti ketentuan diatas.
Pengaduan
masyarakat dapat disampaikan dalam bentuk lisan, dikirim melalui surat dengan
syarat :
a.
Mengisi/
diisikan dalam formulir pendaftaran
b.
Dapat
disampaikan dalam bahasa Inggris dan Indonesia
c.
Masuk
dalam kategori perlindungan konsumen
d.
Selanjutnya
diproses dalam register
e.
Dikonfirmasi
ulang
f.
Proses
selanjutnya mengikuti ketentuan diatas.
REGISTER
- Proses register / regristrasi adalah
proses dimana data dimasukkan dalam sistem filling oleh petugas yang
bersangkutan, sebagai berikut :
a.
Pengelompokan
komoditi pengaduan
b.
Pembagian
kasus kepada petugas yang bersangkutan
c.
Pemberian
nomor
d.
Pendataan
dalam filling
e.
Pengolahan
jawaban kasus
f.
Pengiriman
jawaban secara tertulis
Tujuan
register ini adalah untuk menciptakan alur komunikasi yang mudah untuk diakses
oleh siapapun
Filling
status kasus pada akhir penanganan perkara.
MASALAH
KONSUMEN
PRINSIP :
Mudah, Murah dan Cepat
Penentuan
Perkara /masalah konsumen merupakan kunci terpenting dalam penanganan masalah
selanjutnya, dengan menggunakan dasar sebagai berikut :
- Permasalahan Konsumen :
a.
Ada
kerugian konsumen
b.
Konsumen
adalah konsumen akhir
c.
Ada
pelaku usaha
d.
Produk
dapat terdiri atas barang dan atau jasa
- Bukan Permasalahan Konsumen :
a.
Klarifikasi
melalui surat
b.
Pemberitahuan
tugas, wewenang, serta fungsi
3.
Dianggap
selesai
KONFIRMASI
Proses
pengecekan kebenaran materi pengaduan
- Pengiriman surat untuk meminta konfirmasi
kepada konsumen
- Pemberitahuan kepada aparat/pejabat yang
bersangkutan
- Penentuan jadwal pertemuan dengan
konsumen, pelaku usaha dan keduanya dengan Pejabat Penerima Pelayanan
Pengaduan
- Klarifikasi biasanya ditujukan kepada
konsumen dan pengirim surat tembusan, serta instansi/ dinas yang terkait.
- Pejabat yang berwenang akan melakukan :
a.
Penelusuran
kebijakan dan peraturan pemerintah yang mendukung
b.
Analisis
permasalahan yang diadukan
Klarifikasi
kepada konsumen, dengan melakukan :
a.
Permintaan
bukti pendukung
b.
Kronologis
kejadian secara akurat
KLARIFIKASI
Proses
jawaban pengaduan dilakukan setelah ada konfirmasi atas posisi pengaduan yang
masuk kepada pelaku usaha, untuk selanjutnya pelaku usaha melakukan sanggahan
atas pengaduan yang diadukan konsumen dengan mempersiapkan :
a.
Data,
hasil uji, dll.
b.
Kebijakan
internal perusahaan
c.
Peraturan
per –UU an yang mendukung.
d.
Persiapan
pembuktian terbalik dari Pelaku Usaha
MEDIASI
Madiasi
adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ke tiga bersifat
netral dengan tujuan membantu penyelesaian sengketa dan tidak memiliki wewenang
untuk membuat keputusan
KONSILIASI
Konsiliasi
adalah penyelesaian yang dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa
dengan didampingi pihak ke tiga yang bertindak pasif sebagai Konsiliator.
Sedangkan proses sepenuhnya diserahkan pada pihak yang bersengketa yaitu Pelaku
Usaha dan Konsumen baik menegani bentuk atau jumlah ganti ruginya.
Apabila
kedua media ini tidak dapat menghasilkan satu bentuk keputusan maka dakan
ditempuh langkah tindak lanjut, berupa:
a.
Pelimpahan
ke BPSK
b.
Ke
jalur yuridis formil
Demikian mekanisme pelayanan pengaduan konsumen secara lengkap,
hasil akhir akan dipilih sendiri oleh para pihak untuk menyelesaikan
permaslahannya tersebut.
Tata
Cara Penyelesaian Melalui BPSK[19]
1.
Konsiliasi:
a.
BPSK
membentuk sebuah badan sebagai pasif fasilitator;
b.
Badan
yang membiarkan yang bermasalah untuk menyelesaikan masalah mereka secara
menyeluruh oleh mereka sendiri untuk bentuk dan jumlah kompensasi;
c.
Ketika
sebuah penyelesaian dicapai, itu akan dinyatakan sebagai persetujuan
rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d.
Penyelesaian
dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.
2.
Mediasi:
a.
BPSK
membentuk sebuah fungsi badan sebagai fasilitator yang aktif untuk memberikan
petunjuk, nasehat dan saran kepada yang bermasalah;
b.
Badan
ini membiarkan yang bermasalah menyelesaikan permasalahan mereka secara
menyeluruh untuk bentuk dan jumlah kompensasinya;
c.
Ketika
sebuah penyelesaian dicapai, itu akan diletakkan pada persetujuan rekonsiliasi
yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d.
Penyelesaian
dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.
3.
Arbitrasi:
a.
Yang
bermasalah memilih badan CDSB sebagai arbiter dalam menyelesaikan masalah
konsumen;
b.
Kedua
belah pihak seutuhnya membiarkan badan tersebut menyelesaikan permasalahan
mereka;
c.
BPSK
membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat;
d.
Penyelesaian
harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling lama.
e.
Ketika
kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua belah pihak
dapat mengajukan keluhan kepada pengadilan negeri dalam 14 hari setelah
penyelesaian di informasikan;
f.
Tuntutan
dari kedua belah pihak harus dipenuhi dengan persyaratan sebagai berikut:
ü
Surat
atau dokumen yang diberikan ke pengadilan adalah diakui atau dituntut
salah/palsu;
ü
Dokumen
penting ditemukan dan di sembunyikan oleh lawan; atau;
ü
Penyelesaian
dilakukan melalui satu dari tipuan pihak dalam investigasi permasalahan di
pengadilan.
g.
Pengadilan
negeri dari badan peradilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam 21 hari
kerja;
h.
Jika
kedua belah pihak tidak puas pada keputusan pengadilan/penyelesaian, mereka
tetap memberikan kesempatan untuk mendapatkan sebuah kekuatan hukum yang cepat
kepada pengadilan tinggi dalam jangka waktu 14 hari.
i.
Pengadilan
Tinggi badan pengadilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam jangka waktu
30 hari.
Diagram Alur Tata Cara Penyelesaian
Sengketa melalui BPSK
Pengajuan Pengaduan
|
Pengaduan Konsumen ke BPSK
|
Mediasi
|
BPSK Memberikan Keputusan
UUPK Ps 54 ayat 3
|
Putusan
BPSK
|
Pengaduan Selesai Ditangani
|
Pengajuan
ke PN
|
Putusan
MA
|
Pengaduan Selesai Ditangani
|
Para Pihak Wajib Melaksanakan Putusan
|
Pelaksanaan
Putusan
|
21 Hr kerja
UUPK Ps 55
|
Putusan Final dan Mengikat
|
Putusan Final dan Mengikat
|
Putusan Ditolak Para Pihak
|
Putusan Diterima
Para Pihak
|
7 Hr Kerja
UUPK Ps 56
|
Tidak Dilaksanakan
|
14 Hr Kerja
UUPK Ps 56
|
Putusan diterima Para pihak
|
21 Hr Kerja
|
Putusan ditolak Para Pihak
|
14 Hr Kerja
|
30 Hr Kerja
UUPK Ps 58
|
Konsolidasi
|
TidakSepakat
|
Putusan PN UUPK Ps 58
|
Sepakat?
|
BPSK
meminta Bantuan Untuk Penyelidikan Kriminal
UUPK
Ps 56 (4)
|
Arbitrase
|
Perma 1 Tahun
|
K.
PENUTUP
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, hendaknya
konsumen lebih kritis dan teliti serta banyak menggali informasi mengenai hak
dan kewajibannya sebagai konsumen, sehingga jika dirugikan oleh pelaku usaha
maka konsumen mengetahui apa yang harus dilakukan, serta menumbuhkan kesadaran
dalam diri konsumen bahwa jalan yang ditempuh oleh konsumen untuk memperoleh
hak-haknya tersebut juga merupakan bentuk solidaritas terhadap konsumen lain
yang mungkin juga akan dirugikan apabila konsumen tidak mengadukan kerugian
yang dialaminya tersebut.
Daftar
Pustaka
Ahmadi
Miru dan Sutarman Yodo, 2007. Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
AZ
Nasution, 1995.Konsumen dan Hukum, Ctk.
Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
http://pkditjenpdn.depdag.go.id
Janus Sidabalok, 2006. Hukum
Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
M.
Ali Mansyur, 2007. Penegakan
Hukum tentang Tanggung Gugat Produsen dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen,
Genta Press, Yogyakarta
Muyassarotussolichah,
2009. Aspek Hukum Dalam Bisnis, Ctk. Kedua, Program Studi Keuangan Islam
(KUI) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat
R.
Setiawan, 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Ctk. Keenam, Putra A
Bardin, Bandung
Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
[1] Yaitu setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Contoh klausula baku
yang tercantum dalam bukti transaksi biasanya memuat “barang yang sudah dibeli
tidak dapat dikembalikan atau ditukar”.
[2] UU PK No. 8 Tahun 1999 menjelaskan
bahwa pengertian konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir.
[3] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,
Ctk. Keenam, Putra Abardin, Bandung, 1999, hlm. 68
[4] M. Ali Mansyur, Penegakkan
Hukum tentang Tanggung Gugat Produsen dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen,
Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 79
[5] Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan
dan Perdagangan, PT. Pradnya paramita, Jakarta, 1991, hlm. 154. Dikutip
kembali oleh Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Ctk. Kedua,
Program Studi Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009, hlm.
128.
[6]Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja
Granfindo Persada Jakarta, 2007, hlm. 38
[7] Ibid;
hlm. 39
[9] M. Ali Mansyur, Penegakkan Hukum tentang
Tanggung Gugat Produsen dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta,
2007, hlm. 54
[10] Ibid, hlm. 52
[11] AZ Nasution, Konsumen
dan Hukum, Ctk. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 174
[12] Ibid, hlm.175
[13] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hlm. 101
[14] Ahmadi Miru dan Sutarman
Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Granfindo Persada Jakarta, 2007, hlm. 127
[15] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hlm. 115-119
[16] Gunawan Widjaja dan Ahmad
Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2000, hlm. 39
[17] Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hlm. 6
[18] Diambil dari situs Direktorat Perlindungan Konsumen http://pkditjenpdn.depdag.go.id/
4 April 2009, 22.00
[19] Ibid
No comments:
Post a Comment